Pada kesempatan kali ini,
Rumaysho.com mencoba mengangkat pembahasan puasa sunnah yang bisa diamalkan
sesuai tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga bermanfaat.
Sungguh, puasa adalah amalan yang
sangat utama. Di antara ganjaran puasa disebutkan dalam hadits berikut,
كُلُّ عَمَلِ
ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ
ضِعْفٍ قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ الصَّوْمَ فَإِنَّهُ لِى وَأَنَا أَجْزِى
بِهِ يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِى لِلصَّائِمِ فَرْحَتَانِ
فَرْحَةٌ عِنْدَ فِطْرِهِ وَفَرْحَةٌ عِنْدَ لِقَاءِ رَبِّهِ. وَلَخُلُوفُ فِيهِ
أَطْيَبُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ
“Setiap amalan kebaikan yang
dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang
semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),
“Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang
akan membalasnya. Disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan
karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan yaitu
kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.
Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak
kasturi” (HR. Muslim no. 1151).
Adapun puasa sunnah adalah amalan
yang dapat melengkapi kekurangan amalan wajib. Selain itu pula puasa sunnah
dapat meningkatkan derajat seseorang menjadi wali Allah yang terdepan (as
saabiqun al muqorrobun).[1]
Lewat amalan sunnah inilah seseorang akan mudah mendapatkan cinta Allah.
Sebagaimana disebutkan dalam hadits qudsi,
وَمَا يَزَالُ
عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا
أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى
يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى
بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Hamba-Ku senantiasa
mendekatkan diri pada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya.
Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi petunjuk pada pendengaran
yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk pada penglihatannya yang ia
gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada tangannya yang ia gunakan untuk
memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Jika ia
memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku mengabulkannya dan jika ia memohon
perlindungan, pasti Aku akan melindunginya” (HR. Bukhari no. 2506).
1.Puasa enam
hari dalam bulan Syawal
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ صَامَ
رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa yang berpuasa
Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia seperti berpuasa
setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Fadhilah
atau keutamaannya sangat besar sebagaimana sabda Nabi Muhammad s.a.w. yang
bermaksud: “Siapa berpuasa Ramadhan, kemudian diiringi dengan puasa (sunnat)
enam hari dalam bulan Syawal adalah seperti puasa selama setahun.” (Riwayat
Muslim).
Cara
melakukannya yang terbaik (afdhol) secara berturut-turut dan dimulai pada hari
kedua bulan Syawal, tetapi boleh dan sah dengan tidak berturut-turut, misalnya
sehari puasa dua hari tidak, kemudian puasa lagi, asalkan genap enam hari
didalam bulan Syawal. Malahan sebagian ulama mengharuskan puasa enam hari
dalam bulan Syawal diniatkan berserta puasa qadha Ramadhan.
2.Puasa hari
‘Arafah (9 Zulhijjah)
Puasa ‘Arofah ini dilaksanakan pada
tanggal 9 Dzulhijjah. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
صِيَامُ
يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى
قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ
عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
“Nabi shallallahu ’alaihi wa
sallam ditanya mengenai keutamaan puasa ‘Arofah? Beliau menjawab, ”Puasa
‘Arofah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang akan datang.”
Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau menjawab,
”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu” (HR. Muslim no. 1162).
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa ‘Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ
النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ
الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman
susu, beliau pun meminumnya.” (HR. Tirmidzi no. 750. Hasan shahih).
Disunatkan kepada
orang yang tidak melakukan ibadah haji. Fadhilahnya sangat besar sebagaimana
dijelaskan dalam hadist dari Abi Qatadah r.a. ujurnya, Rasullullah s.a.w. telah
ditanya oleh sahabat mengenai puasa hari Arafah, sabdanya bermaksud: “Ia
menghapuskan dosa setahun yang lalu dan tahun-tahun kemudiannya.”
(Riwayatkan oleh Muslim dan al-Turmuzi).
Menerusi hadist daripada Abi Qatadah r.a. juga bahwa Rasullullah s.a.w.
bersabda yang bermaksud: “Puasa pada hari Arafah itu menghapuskan dosa dua
tahun yang lalu dan tahun yang akan datang.” (Diriwayat oleh Muslim).
Puasa
di Awal Dzulhijah
Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا
أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ.
قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ
الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ
يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal
sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada
hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat
bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang
berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."
(HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no.
1968. Shahih). Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa
saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa
shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[9]
Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa.
Dari Hunaidah bin Kholid, dari
istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengatakan,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ
وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ
وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari
‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[10],
...” (HR. Abu Daud no. 2437. Shahih).
3.Puasa pada bulan Muharram
Dari Abi
Hurairah r.a. menerangkan, telah bersabda Rasullullah s.a.w. yang maksudnya:
”Seafdal-afdal
puasa selepas Ramadhan ialah puasa pada bulan Allah iaitu bulan Muharram dan
seafdal-afdal sholat selepas sholat fardhu ialah sholat malam.” (Riwayat Muslim)
Dari Ibnu
Abbas r.a. katanya, telah bersabda Rasullullah s.a.w. bermaksud: “Siapa
berpuasa pada hari Arafah niscaya terhapus dosanya dua tahun dan siapa berpuasa
satu hari daripada bulan Muharram maka untuknya setiap sehari (mendapat pahala)
30 hari.”
(Dikeluarkan
oleh al-Tabrani)
4.Puasa pada
hari Asyura (10 Muharram)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang paling utama
setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah - Muharram. Sementara
shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.” (HR. Muslim
no. 1163). An Nawawi -rahimahullah- menjelaskan, “Hadits ini merupakan
penegasan bahwa sebaik-baik bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.”[11]
Keutamaan puasa ‘Asyura sebagaimana
disebutkan dalam hadits Abu Qotadah di atas. Puasa ‘Asyura dilaksanakan pada
tanggal 10 Muharram. Namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertekad
di akhir umurnya untuk melaksanakan puasa ‘Asyura tidak bersendirian, namun
diikutsertakan dengan puasa pada hari sebelumnya (9 Muharram). Tujuannya adalah
untuk menyelisihi puasa ‘Asyura yang dilakukan oleh Ahlul Kitab.
Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma
berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan
puasa hari ’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada
saat itu ada yang berkata,
يَا رَسُولَ
اللَّهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى. فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ - إِنْ شَاءَ
اللَّهُ - صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ ». قَالَ فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Wahai Rasulullah, hari ini
adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.” Lantas beliau
mengatakan, “Apabila tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)-
kita akan berpuasa pula pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan, “Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim no. 1134).
Dari Abi
Qatadah r.a. bahwasanya Rasullullah s.a.w. telah ditanya mengenai puasa hari Asyura
(yakni hari ke-10 bulan Muharram) maka sabda Baginda s.a.w. yang bermaksud: “Ia
akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.” (Riwayat Muslim).
5.Puasa hari
Tasu’a (Tanggal 9 Muharram)
Ia
disunatkan, namun Rasullullah s.a.w. belum sempat mengerjakannya, bagaimanapun
Baginda s.a.w. bersabda maksudnya: “Sesungguhnya jika aku hidup pada tahun
kedepan, aku akan berpuasa pada 9 Muharram,.” (Riwayat Ahmad dan Muslim)
PERINGATAN
Puasa sunnat
pada hari ke-10 Muharram hendaknya digabung dengan hari sebelumnya yaitu pada
hari ke-9 atau dengan hari berikutnya (yakni hari ke-11) dan lebih baik lagi
dikerjakan tiga hari berturut-turut yaitu ke-9,ke-10 dan ke-11. Jika dikerjakan
hanya 10 Muharram saja maka hukumnya makruh karena menyerupai amalan orang Yahudi.
Sabda Nabi
Muhammad s.a.w yang bermaksud: “Berpuasalah pada hari Asyura (10 Muharram) dan
jangalah menyamai perbuatan orang Yahudi; oleh karena itu berpuasalah sehari
sebelum dan sehari sesudahnya.” (Riwayat Imam Ahmad)
6.Puasa
bulan Sya’ban
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha
mengatakan,
لَمْ يَكُنِ
النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ ،
فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak biasa berpuasa pada satu bulan yang lebih banyak dari bulan
Sya’ban. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban
seluruhnya.” (HR. Bukhari no. 1970 dan Muslim no. 1156).
Dalam lafazh Muslim, ‘Aisyah radhiyallahu
‘anha mengatakan,
كَانَ يَصُومُ
شَعْبَانَ كُلَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلاَّ قَلِيلاً.
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya. Namun beliau berpuasa
hanya sedikit hari saja.” (HR. Muslim no. 1156)
Yang dimaksud di sini adalah
berpuasa pada mayoritas harinya (bukan seluruh harinya[6])
sebagaimana diterangkan oleh Az Zain ibnul Munir.[7]
Para ulama berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
menyempurnakan berpuasa sebulan penuh selain di bulan Ramadhan agar tidak
disangka puasa selain Ramadhan adalah wajib.[8]
Dari Usamah
bin Zaid r.a. katanya, aku berkata: “Wahai Rasullullah, tidak saya lihat
tuan berpuasa satu bulan dari bulan-bulan (dalam setahun selain Ramadhan)
seperti tuan berpuasa pada bulan Syaban.” Sabda Rasullullah s.a.w.: “Bulan
ini (yakni bulan Sya’ban) ialah bulan yang manusia lalai padanya antara Rajab
dan Ramadhan, pada hal ia (yakni bulan Sya’aban) adalah bulan diangkat semua
amalan kepada Tuhan seru sekalian alam, maka aku suka amalanku diangkat dan aku
berpuasa.” (Riwayat al-Nasai).
Ummu Salamah
r.a. pula berkata: “Tidak pernah aku lihat Rasullullah s.a.w. berpuasa dua
bulan berturut-turut melainkan pada bulan Sya’aban dan Ramadhan.” (Riwayat
al-Turmuzi).
7.Puasa
pada hari Senin dan Kamis
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
تُعْرَضُ
الأَعْمَالُ يَوْمَ الاِثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِى
وَأَنَا صَائِمٌ
“Berbagai amalan dihadapkan
(pada Allah) pada hari Senin dan Kamis, maka aku suka jika amalanku dihadapkan
sedangkan aku sedang berpuasa.” (HR. Tirmidzi no. 747. Shahih dilihat dari
jalur lainnya).
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
إِنَّ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَتَحَرَّى صِيَامَ الاِثْنَيْنِ
وَالْخَمِيسِ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa menaruh pilihan berpuasa pada hari senin dan kamis.” (HR.
An Nasai no. 2360 dan Ibnu Majah no. 1739. Shahih)
Dari Abi
Hurairah r.a. bahwa Rasullullah s.a.w. bersabdanya: “Diperlihatkan (kehadrat
Allah s.w.t.) segala amalan itu pada hari Senin dan Kamis, justru saya suka
ketika diperlihatkan amalan-amalanku itu sedang aku berpuasa.” (Riwayat
al-Turmuzi).
Menurut
riwayat Muslim diterima daripada Abu Qatadah, pernah ditanyakan kepada
Rasullullah sa.w. tentang puasa pada hari Senin, maka Baginda s.a.w. menjawab
dengan sabdanya yang bermaksud: Itulah hari yang padanya aku dilahirkan, dan
padanya aku dibangkitkan menjadi Rasul dan padanya Al-Quran diturunkan
kepadaku.” (Subul al-Salam).
8.Puasa hari
Rabu, Khamis dan Jumat
Dari Ubaid
bin Muslim al-Qurasyi dari Bapanya r.a. sewaktu aku bertanya atau ditanya oleh
Baginda Rasullullah s.a.w. mengenai puasa dahar (sepanjang tahun), maka Baginda
Rasullullah s.a.w. bersabda yang bermaksud: Tidak (maksudnya tidak
dibenarkan puasa tersebut), karena sesungguhnya untuk keluargamu atas dirimu
ada hak. Oleh itu berpuasalah pada bulan Ramadhan dan yang mengikutinya (enam
hari dalam bulan Syawal), dan pada setiap hari Rabu dan Kamis, maka anda sungguh
telah (mendapat pahala) puasa sepanjang tahun dan anda juga telah berbuka.” (Riwayat
Abu Dawud, al-Nasai dan al-Turmuzi).
Daripada
Anas bin Malik r.a. bahawa beliau telah mendengar Rasullullah s.a.w. bersabda
bermaksud: Siapa berpuasa pada hari Rabu, Kamis dan Jumat, niscaya Allah
s.w.t. membina untuknya sebuah istana disyurga dari permata, yaqut dan zabarzad
dan dicatat baginya bebas dari api neraka.” (Riwayat al-Tabrani).
Diteruskan riwayat dari Ibnu Umar r.a., Nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang
bermaksud: “Siapa berpuasa pada hari Rabu, Kamis dan Jumat, kemudian
bersedekah pada hari Jumat baik sedikit atau banyak, niscaya diampunkan semua
dosanya hingga menjadi seperti bayi yang baru dilahirkan oleh ibunya, bersih
daripada segala dosa.” (Dikeluarkan oleh al-Tabrani).
Puasa
Tiga Hari Setiap Bulan Hijriyah
Dianjurkan berpuasa tiga hari
setiap bulannya, pada hari apa saja.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata,
أَوْصَانِى
خَلِيلِى بِثَلاَثٍ لاَ أَدَعُهُنَّ حَتَّى أَمُوتَ صَوْمِ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ
مِنْ كُلِّ شَهْرٍ ، وَصَلاَةِ الضُّحَى ، وَنَوْمٍ عَلَى وِتْرٍ
“Kekasihku (yaitu Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam) mewasiatkan padaku tiga nasehat yang aku tidak
meninggalkannya hingga aku mati: [1] berpuasa tiga hari setiap bulannya, [2]
mengerjakan shalat Dhuha, [3] mengerjakan shalat witir sebelum tidur.”(
HR. Bukhari no. 1178)
Mu’adzah bertanya pada ‘Aisyah,
أَكَانَ
رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ
شَهْرٍ قَالَتْ نَعَمْ. قُلْتُ مِنْ أَيِّهِ كَانَ يَصُومُ قَالَتْ كَانَ لاَ
يُبَالِى مِنْ أَيِّهِ صَامَ. قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
“Apakah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam berpuasa tiga hari setiap bulannya?” ‘Aisyah menjawab, “Iya.”
Mu’adzah lalu bertanya, “Pada hari apa beliau melakukan puasa tersebut?”
‘Aisyah menjawab, “Beliau tidak peduli pada hari apa beliau puasa (artinya
semau beliau).” (HR. Tirmidzi no. 763 dan Ibnu Majah no. 1709. Shahih)
Namun, hari yang utama untuk
berpuasa adalah pada hari ke-13, 14, dan 15 dari bulan Hijriyah yang dikenal
dengan ayyamul biid.[2]
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يُفْطِرُ أَيَّامَ الْبِيضِ فِي
حَضَرٍ وَلَا سَفَرٍ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa berpuasa pada ayyamul biidh ketika tidak bepergian maupun
ketika bersafar.” (HR. An Nasai no. 2345. Hasan).
Dari Abu Dzar, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya,
يَا أَبَا
ذَرٍّ إِذَا صُمْتَ مِنَ الشَّهْرِ ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ فَصُمْ ثَلاَثَ عَشْرَةَ
وَأَرْبَعَ عَشْرَةَ وَخَمْسَ عَشْرَةَ
“Jika engkau ingin berpuasa tiga
hari setiap bulannya, maka berpuasalah pada tanggal 13, 14, dan 15 (dari bulan
Hijriyah).” (HR. Tirmidzi no. 761 dan An Nasai no. 2424. Hasan)
9.Puasa pada
hari Putih (13,14 dan 15 bulan Islam)
Diriwayatkan
oleh Jarir r.a. bahwa Nabi Muhammad s.a.w. yang menerangkan: “Berpuasa tiga
hari pada setiap bulan adalah puasa sepanjang tahun yaitu puasa pada hari-hari
putih – pada hari 13,14 dan 15 (bulan Qamariyah).” (Riwayat al-Nasai dengan
sanad yang sohih).
10.Puasa
Tiga Hari Pada Setiap Bulan
Diriwayatkan
oleh Muslim dari Abi Qatadah, bahwa Baginda Rasullullah s.a.w. bersabda
maksudnya: “Puasa tiga hari pada setiap bulan, Ramadhan ke Ramadhan itulah
puasa sepanjang masa.”
Mengenai
berpuasa tiga hari pada setiap bulan, ada beberapa pendapat Ulama. Antaranya
dikatakan puasa tiga hari itu ialah puasa pada 13,14 dan 15. Inilah pendapat
kebanyakkan Ulama, antara lain Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Zar, al-Syafi’i, Abu
Hanifah, Ahmad dan Ishaq. Sementara al-Nakha’i berpendapat ialah puasa tiga
hari pada akhir bulan.
11.Puasa Daud/Selang-Seling
(sehari puasa sehari tidak)
Cara melakukan puasa Daud adalah
sehari berpuasa dan sehari tidak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أحَبُّ
الصِّيَامِ إلى اللهِ صِيَامُ دَاوُدَ، وَأحَبُّ الصَّلاةِ إِلَى اللهِ صَلاةُ
دَاوُدَ: كَانَ يَنَامُ نِصْفَ الليل، وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ،
وَكَانَ يُفْطِرُ يَوْمًا وَيَصُوْمُ يَوْمًا
“Puasa yang paling disukai oleh
Allah adalah puasa Nabi Daud. Shalat yang paling disukai Allah adalah Shalat
Nabi Daud. Beliau biasa tidur separuh malam, dan bangun pada sepertiganya, dan
tidur pada seperenamnya. Beliau biasa berbuka sehari dan berpuasa sehari.”
(HR. Bukhari no. 3420 dan Muslim no. 1159)
Dari 'Abdullah bin 'Amru radhiyallahu
‘anhuma, ia berkata,
أُخْبِرَ
رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - أَنِّى أَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ
النَّهَارَ وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ . فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ -
صلى الله عليه وسلم - « أَنْتَ الَّذِى تَقُولُ وَاللَّهِ لأَصُومَنَّ النَّهَارَ
وَلأَقُومَنَّ اللَّيْلَ مَا عِشْتُ » قُلْتُ قَدْ قُلْتُهُ . قَالَ « إِنَّكَ لاَ
تَسْتَطِيعُ ذَلِكَ ، فَصُمْ وَأَفْطِرْ ، وَقُمْ وَنَمْ ، وَصُمْ مِنَ الشَّهْرِ
ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ ، فَإِنَّ الْحَسَنَةَ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا ، وَذَلِكَ
مِثْلُ صِيَامِ الدَّهْرِ » . فَقُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ يَا
رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمَيْنِ » . قَالَ قُلْتُ
إِنِّى أُطِيقُ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ . قَالَ « فَصُمْ يَوْمًا وَأَفْطِرْ يَوْمًا
، وَذَلِكَ صِيَامُ دَاوُدَ ، وَهْوَ عَدْلُ الصِّيَامِ » . قُلْتُ إِنِّى أُطِيقُ
أَفْضَلَ مِنْهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ . قَالَ « لاَ أَفْضَلَ مِنْ ذَلِكَ » .
Disampaikan kabar kepada Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bahwa aku berkata; "Demi Allah, sungguh
aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku akan shalat malam sepanjang
hidupku." Maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertanya
kepadanya ('Abdullah bin 'Amru): "Benarkah kamu yang berkata;
"Sungguh aku akan berpuasa sepanjang hari dan sungguh aku pasti akan
shalat malam sepanjang hidupku?". Kujawab; "Demi bapak dan
ibuku sebagai tebusannya, sungguh aku memang telah mengatakannya".
Maka Beliau berkata: "Sungguh kamu pasti tidak akan sanggup
melaksanakannya. Akan tetapi berpuasalah dan berbukalah, shalat malam dan
tidurlah dan berpuasalah selama tiga hari dalam setiap bulan karena setiap
kebaikan akan dibalas dengan sepuluh kebaikan yang serupa dan itu seperti puasa
sepanjang tahun." Aku katakan; "Sungguh aku mampu lebih dari
itu, wahai Rasulullah". Beliau berkata: "Kalau begitu
puasalah sehari dan berbukalah selama dua hari". Aku katakan lagi:
"Sungguh aku mampu yang lebih dari itu". Beliau berkata: "Kalau
begitu puasalah sehari dan berbukalah sehari, yang demikian itu adalah puasa
Nabi Allah Daud 'alaihi salam yang merupakan puasa yang paling utama".
Aku katakan lagi: "Sungguh aku mampu yang lebih dari itu".
Maka beliau bersabda: "Tidak ada puasa yang lebih utama dari itu".
(HR. Bukhari no. 3418 dan Muslim no. 1159)
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits di
atas menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari
melakukan puasa lebih dari puasa Daud yaitu sehari puasa sehari tidak.”[3]
Ibnul Qayyim Al Jauziyah
mengatakan, “Puasa seperti puasa Daud, sehari berpuasa sehari tidak adalah
lebih afdhol dari puasa yang dilakukan terus menerus (setiap harinya).”[4]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al
‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Puasa Daud sebaiknya hanya
dilakukan oleh orang yang mampu dan tidak merasa sulit ketika melakukannya.
Jangan sampai ia melakukan puasa ini sampai membuatnya meninggalkan amalan yang
disyari’atkan lainnya. Begitu pula jangan sampai puasa ini membuatnya
terhalangi untuk belajar ilmu agama. Karena ingat, di samping puasa ini masih
ada ibadah lainnya yang mesti dilakukan. Jika banyak melakukan puasa malah
membuat jadi lemas, maka sudah sepantasnya tidak memperbanyak puasa. ... Wallahul
Muwaffiq.”[5]
Hadist dari
Abdullah bin Amru ibnu al-As r.a. bahwa Nabi Muhammad s.a.w. bersabda yang
bermaksud: “Telah sampai berita kepadaku bahwa anda berpuasa pada waktu
siang dan berjaga (karena beribadah) waktu malam. Jangan buat demikian karena
untuk jasadmu atas dirimu ada ibadah, untuk matamu atas dirimu ada ibadah dan
untuk isterimu ada ibadah. Puasalah dan berbukalah. Puasa tiga hari pada setiap
bulan, maka dengan demikian anda mendapat pahala sepanjang tahun.” Aku berkata:
“Wahai Rasullullah, aku mempunyai kekuatan (keupayaan untuk berpuasa). Sabda
Baginda Rasullullah s.a.w. “Maka berpuasalah puasa NabiDaud a.s. yaitu
berpuasalah sehari dan berbuka sehari.” (Riwayat al-Bukhari dan Muslim).
Dari
Abdullah bin Amru ibnu al’As menerangkan, telah bersabda Rasullullah sa.w.
bermaksud: “Puasa yang paling disukai oleh Allah s.w.t. ialah puasa Nabi
Daud dan sholat yang paling disukai Allah s.w.t. ialah sholat Nabi Daud,
Rosulullooh tidur separuh malam dan bangun beribadah sepertiga malam dan tidur
seperempat malam dan baginda berpuasa sehari dan berbuka sehari.” (Riwayat
al-Bukhari dan Muslim).
Ketentuan
dalam Melakukan Puasa Sunnah
Pertama:
Boleh berniat puasa sunnah setelah terbit fajar jika belum makan, minum dan
selama tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Berbeda dengan puasa
wajib maka niatnya harus dilakukan sebelum fajar.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata,
دَخَلَ
عَلَىَّ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- ذَاتَ يَوْمٍ فَقَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ
شَىْءٌ ». فَقُلْنَا لاَ. قَالَ « فَإِنِّى إِذًا صَائِمٌ ». ثُمَّ أَتَانَا
يَوْمًا آخَرَ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أُهْدِىَ لَنَا حَيْسٌ. فَقَالَ «
أَرِينِيهِ فَلَقَدْ أَصْبَحْتُ صَائِمًا ». فَأَكَلَ.
“Pada suatu hari, Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam menemuiku dan bertanya, "Apakah kamu
mempunyai makanan?" Kami menjawab, "Tidak ada." Beliau berkata,
"Kalau begitu, saya akan berpuasa." Kemudian beliau datang lagi pada
hari yang lain dan kami berkata, "Wahai Rasulullah, kita telah diberi
hadiah berupa Hais (makanan yang terbuat dari kura, samin dan keju)." Maka
beliau pun berkata, "Bawalah kemari, sesungguhnya dari tadi pagi tadi aku
berpuasa." (HR. Muslim no. 1154). An Nawawi memberi judul dalam Shahih
Muslim, “Bab: Bolehnya melakukan puasa sunnah dengan niat di siang
hari sebelum waktu zawal (bergesernya matahari ke barat) dan bolehnya
membatalkan puasa sunnah meskipun tanpa udzur. ”
Kedua:
Boleh menyempurnakan atau membatalkan puasa sunnah. Dalilnya adalah hadits
‘Aisyah diatas. Puasa sunnah merupakan pilihan bagi seseorang ketika ia ingin
memulainya, begitu pula ketika ia ingin meneruskan puasanya. Inilah pendapat
dari sekelompok sahabat, pendapat Imam Ahmad, Ishaq, dan selainnya. Akan tetapi
mereka semua, termasuk juga Imam Asy Syafi’i bersepakat bahwa disunnahkan untuk
tetap menyempurnakan puasa tersebut.[12]
Ketiga:
Seorang istri tidak boleh berpuasa sunnah sedangkan suaminya bersamanya kecuali
dengan seizin suaminya. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
لاَ تَصُومُ
الْمَرْأَةُ وَبَعْلُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Janganlah seorang wanita
berpuasa sedangkan suaminya ada kecuali dengan seizinnya.” (HR. Bukhari
no. 5192 dan Muslim no. 1026)
An Nawawi rahimahullah menjelaskan,
“Yang dimaksudkan dalam hadits tersebut adalah puasa sunnah yang tidak terikat
dengan waktu tertentu. Larangan yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah
larangan haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama Syafi’iyah. Sebab
pengharaman tersebut karena suami memiliki hak untuk bersenang-senang dengan
istrinya setiap harinya. Hak suami ini wajib ditunaikan dengan segera oleh
istri. Dan tidak bisa hak tersebut terhalang dipenuhi gara-gara si istri
melakukan puasa sunnah atau puasa wajib yang sebenarnya bisa diakhirkan.”[13]
Beliau rahimahullah menjelaskan pula, “Adapun jika si suami bersafar,
maka si istri boleh berpuasa. Karena ketika suami tidak ada di sisi istri, ia
tidak mungkin bisa bersenang-senang dengannya.”[14]
Semoga Allah beri taufik untuk
beramal sholih.
PERINGATAN
:
1.Dalam
mencari pahala puasa sunnat, jangan sampai salah dihari-hari yang diharamkan
untuk berpuasa yaitu:
- Tanggal 1 Syawal (Hari Raya Idul Fitri)
- 10 Dzulhijah (Hari Raya Idul Adha) Hari Tasyriq :11,12 dan 13 Dzulhijah.
- Hari Mulai berpuasa pada Tanggal 30 Sya’ban
- Selepas 15 Syaban, jika bukan puasa qodho atau Nazar atau tiada hubungannya dengan puasa pada hari sebelumnya.
- Wanita yang berpuasa tanpa izin suami
2.Jangan
Pula Berpuasa Pada Saat Yang Dimakruhkan:
- Orang yang sakit keras
- Orang yang sudah sangat tua
- Wanita yangsedang hamil
- Orang sedang musafir
- Berpuasa padahari Arafah bagi orang yang mengerjakan Haji
- Berpuasa Pada Hari Sabtu saja.
- Berpuasa Pada hari Jumat saja tanpa berturut-turut.
- Puasa yang asalnya Sunnat lalu dikerjakan oleh orang yang menanggung Puasa Qodho.
- Puasa Setiap hari tanpa berhenti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar