Sumber: http://al-atsariyyah.com
Seputar Lailatul Qadr
Sebab
Penamaan Lailatul Qadr
Imam Ath-Thabari menyebutkan beberapa sebab malam yang mulia ini dinamakan Lailatul Qadr:
Ada yang mengatakan karena pada malam itu Allah menetapkan qadr (takdir) hamba-hambaNya untuk tahun itu sampai tahun depannya.
Ada yang mengatakan karena malam itu mempunyai qadr (kedudukan yang tinggi) dan kemuliaan.
Dan ada yang mengatakan karena amalan-amalan pada malam itu mempunyai qadr (kedudukan) yang besar dan pahala yang tinggi.
[Tafsir Ath-Thabari surah Al-Qadr]
Imam Ath-Thabari menyebutkan beberapa sebab malam yang mulia ini dinamakan Lailatul Qadr:
Ada yang mengatakan karena pada malam itu Allah menetapkan qadr (takdir) hamba-hambaNya untuk tahun itu sampai tahun depannya.
Ada yang mengatakan karena malam itu mempunyai qadr (kedudukan yang tinggi) dan kemuliaan.
Dan ada yang mengatakan karena amalan-amalan pada malam itu mempunyai qadr (kedudukan) yang besar dan pahala yang tinggi.
[Tafsir Ath-Thabari surah Al-Qadr]
Apakah
Lailatul Qadr Masih Ada Sampai Sekarang?
Kaum muslimin sepakat -kecuali segelintir di antara mereka yang tidak diperhitungkan penyelisihannya- bahwa Lailatul Qadr masih tetap ada sampai sekarang berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.
pernah keluar untukrAdapun hadits bahwa suatu ketika Nabi memberitahukan kapan Lailatul Qadr tapi beliau mendapati ada dua orang yang berselisih tentangnya. Lalu beliau bersabda, “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr akan tetapi si fulan dan si fulan berselisih, sehingga dia pun diangkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, Muslim dari hadits Abu Said) Maka maksud dari kata ‘diangkat’ di sini adalah diangkat ilmu tentang penentuan kapan Lailatul Qadr, bukan Lailatul Qadrnya yang diangkat (dicabut).
[Lihat Al-Majmu’: 6/402 dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/491]
Kaum muslimin sepakat -kecuali segelintir di antara mereka yang tidak diperhitungkan penyelisihannya- bahwa Lailatul Qadr masih tetap ada sampai sekarang berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak.
pernah keluar untukrAdapun hadits bahwa suatu ketika Nabi memberitahukan kapan Lailatul Qadr tapi beliau mendapati ada dua orang yang berselisih tentangnya. Lalu beliau bersabda, “Aku keluar untuk mengabarkan kepada kalian tentang Lailatul Qadr akan tetapi si fulan dan si fulan berselisih, sehingga dia pun diangkan oleh Allah.” (HR. Al-Bukhari dari Ubadah bin Ash-Shamit, Muslim dari hadits Abu Said) Maka maksud dari kata ‘diangkat’ di sini adalah diangkat ilmu tentang penentuan kapan Lailatul Qadr, bukan Lailatul Qadrnya yang diangkat (dicabut).
[Lihat Al-Majmu’: 6/402 dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/491]
Kapan
Lailatul Qadr?
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/247) menyebutkan ada empat pendapat dalam masalah ini:
dan sudah diangkat setelahnya. Ini adalah pandapat yang tertolak lagi batil.r1. Lailatul Qadr hanya ada pada zaman Nabi
2. Dia saat nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban). Ini adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan surah Al-Baqarah ayat 185 dan surah Al-Qadr ayat 1 yang menerangkan bahwa Al-Qur`an turun di bulan Ramadhan.
3. Dia pada bulan ramadhan pada selain sepuluh terakhir. Ini pendapat bersabda pada lanjutan hadits Ubadahryang kurang kuat karena Nabi dan Abu Said di atas:
Asy-Syaikh Abdullah Al-Bassam dalam Taudhihul Ahkam (3/247) menyebutkan ada empat pendapat dalam masalah ini:
dan sudah diangkat setelahnya. Ini adalah pandapat yang tertolak lagi batil.r1. Lailatul Qadr hanya ada pada zaman Nabi
2. Dia saat nishfu Sya’ban (pertengahan Sya’ban). Ini adalah pendapat yang lemah karena bertentangan dengan surah Al-Baqarah ayat 185 dan surah Al-Qadr ayat 1 yang menerangkan bahwa Al-Qur`an turun di bulan Ramadhan.
3. Dia pada bulan ramadhan pada selain sepuluh terakhir. Ini pendapat bersabda pada lanjutan hadits Ubadahryang kurang kuat karena Nabi dan Abu Said di atas:
وَعَسَى أَنْ يَكُوْنَ خَيْرًا لَكُمْ. فَالْتَمِسُوْهَا
فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
“Semoga
hal itu lebih baik bagi kalian. Maka carilah dia pada malam 9, 7, 5 terakhir.”
Dalam sebagian riwayat, “Carilah dia di 10 malam terakhir.”
4. Dia di 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil, terutama pada 7 malam terakhir, terutama pada malam 27 Ramadhan. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan dalil-dalil yang akan kami sebutkan.
:rAdapun pada malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir Ramadhan, maka berdasarkan sabda beliau
Dalam sebagian riwayat, “Carilah dia di 10 malam terakhir.”
4. Dia di 10 malam terakhir dari bulan Ramadhan, terutama pada malam-malam ganjil, terutama pada 7 malam terakhir, terutama pada malam 27 Ramadhan. Inilah pendapat yang kuat berdasarkan dalil-dalil yang akan kami sebutkan.
:rAdapun pada malam-malam ganjil pada 10 malam terakhir Ramadhan, maka berdasarkan sabda beliau
اِلْتَمِسُوْهَا فِي الْوِتْرِ مِنَ العْشْرِ
الْأَوَاخِرِ
“Carilah
dia (Lailatul Qadr) pada malam-malam ganjil dari 10 malam terakhir.”
Adapun terutama pada 7 malam terakhir, maka berdasarkan hadits Abdullah bermimpi bahwa Lailatulrbin Umar bahwa beberapa orang sahabat Nabi Qadr pada 7 malam terakhir, maka beliau bersabda:
Adapun terutama pada 7 malam terakhir, maka berdasarkan hadits Abdullah bermimpi bahwa Lailatulrbin Umar bahwa beberapa orang sahabat Nabi Qadr pada 7 malam terakhir, maka beliau bersabda:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ
الْأَوَاخِرِ.فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُتَحَرِّيَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ
الْأَوَاخِر
“Saya
melihat mimpi-mimpi kalian sepakat pada 7 malam terakhir. Karenanya barangsiapa
di antara kalian yang hendak berjaga-jaga maka hendaknya dia berjaga-jaga pada
7 hari terakhir.” (HR. Al-Bukhari
dan Muslim)
Dan dalam riwayat Muslim, “Carilah dia pada 10 malam terakhir. Siapa yang tidak sanggup atau lemah maka jangan sampai dia terkalahkan di 7 malam sisanya.”
Adapun terutama pada malam 27, maka berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa , “Wahai Rasulullah,rada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi sesungguhnya sulit bagi saya untuk melakukan qiyamullail, maka perintahkanlah kepada saya (untuk shalat) pada satu malam, semoga Allah memberikan taufiq kepadaku untuk mendapatkan Lailatul Qadr.” Maka beliau bersabda:r
Dan dalam riwayat Muslim, “Carilah dia pada 10 malam terakhir. Siapa yang tidak sanggup atau lemah maka jangan sampai dia terkalahkan di 7 malam sisanya.”
Adapun terutama pada malam 27, maka berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa , “Wahai Rasulullah,rada seorang lelaki yang berkata kepada Nabi sesungguhnya sulit bagi saya untuk melakukan qiyamullail, maka perintahkanlah kepada saya (untuk shalat) pada satu malam, semoga Allah memberikan taufiq kepadaku untuk mendapatkan Lailatul Qadr.” Maka beliau bersabda:r
عَلَيْكَ بِالسَّابِعَةِ
“Hendaknya
kamu shalat pada malam ke-27.”
Juga berdasarkan riwayat yang mauquf dari Muawiah bin Abi Sufyan riwayat Abu Daud bahwa Lailatul Qadr itu pada malam ke-27. Bahkan sahabat Ubai bin Ka’ab bersumpah bahwa dia adalah malam ke-27. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa kemungkinan besar dia terjadi pada malam ke-27.
Hanya saja yang menjadikan kita tidak bisa memastikan bahwa Lailatul Qadr itu malam ke-27 adalah adanya beberapa riwayat lain yang menunjukkan selain dari itu. Seperti:
Hadits Abu Said riwayat Al-Bukhari dan Muslim menunjukkan dia pernah di malam ke-21. Sementara pada hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim disebutkan kalau dia terjadi pada malam ke-23. Karenanya Asy-Syafi’iyah menetapkan bahwa kemungkinan besar Lailatul Qadr terjadi pada salah satu dari dua mala mini.
Karenanya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah membawakan lebih dari 40 pendapat dalam masalah ini, “Yang paling kuat adalah bahwa dia berada pada malam ganjil dari 10 malam terakhir, dan bahwa dia berpindah-pindah (setiap tahun) sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits-hadits dalam masalah ini.”
[Lihat Fathul Bari no. hadits 2020 dan Majmu’ Al-Fatawa: 25/284]
Juga berdasarkan riwayat yang mauquf dari Muawiah bin Abi Sufyan riwayat Abu Daud bahwa Lailatul Qadr itu pada malam ke-27. Bahkan sahabat Ubai bin Ka’ab bersumpah bahwa dia adalah malam ke-27. Dan ini adalah pendapat mayoritas ulama bahwa kemungkinan besar dia terjadi pada malam ke-27.
Hanya saja yang menjadikan kita tidak bisa memastikan bahwa Lailatul Qadr itu malam ke-27 adalah adanya beberapa riwayat lain yang menunjukkan selain dari itu. Seperti:
Hadits Abu Said riwayat Al-Bukhari dan Muslim menunjukkan dia pernah di malam ke-21. Sementara pada hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim disebutkan kalau dia terjadi pada malam ke-23. Karenanya Asy-Syafi’iyah menetapkan bahwa kemungkinan besar Lailatul Qadr terjadi pada salah satu dari dua mala mini.
Karenanya Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata setelah membawakan lebih dari 40 pendapat dalam masalah ini, “Yang paling kuat adalah bahwa dia berada pada malam ganjil dari 10 malam terakhir, dan bahwa dia berpindah-pindah (setiap tahun) sebagaimana yang bisa dipahami dari hadits-hadits dalam masalah ini.”
[Lihat Fathul Bari no. hadits 2020 dan Majmu’ Al-Fatawa: 25/284]
Siapakah
Yang Mendapatkan Keutamaan Lailatul Qadr?
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1. Yang dapat hanyalah yang beribadah di malam itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
2. Pahala yang dijanjikan tetap akan didapatkan bagi orang yang beribadah di dalamnya walaupun dia tidak mengetahui kalau malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul Arabi, dan sekelompok ulama lainnya.
Yang kuat adalah pendapat yang kedua dan ini yang dikuatkan oleh hanya bersabda, “BarangsiaparAsy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Karena Nabi yang melakukan qiyamullail pada Lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) Jadi syaratnya hanya iman dan mengharapkan pahala, beliau tidak mempersyaratkan orang itu harus tahu bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr.
[Lihat Al-Fath no. 2022, Subulus Salam: 4/192, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/497]
Ada dua pendapat dalam masalah ini:
1. Yang dapat hanyalah yang beribadah di malam itu dalam keadaan dia mengetahui bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dan yang dikuatkan oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar.
2. Pahala yang dijanjikan tetap akan didapatkan bagi orang yang beribadah di dalamnya walaupun dia tidak mengetahui kalau malam itu adalah Lailatul Qadr. Ini adalah pendapat Ath-Thabari, Al-Muhallab, Ibnul Arabi, dan sekelompok ulama lainnya.
Yang kuat adalah pendapat yang kedua dan ini yang dikuatkan oleh hanya bersabda, “BarangsiaparAsy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin. Karena Nabi yang melakukan qiyamullail pada Lailatul Qadr karena iman dan mengharapkan pahala maka akan diampuni semua dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah) Jadi syaratnya hanya iman dan mengharapkan pahala, beliau tidak mempersyaratkan orang itu harus tahu bahwa malam itu adalah Lailatul Qadr.
[Lihat Al-Fath no. 2022, Subulus Salam: 4/192, dan Asy-Syarhul Mumti’: 6/497]
Tanda-Tanda
Lailatul Qadr
:rAda beberapa tanda yang tersebut dalam sunnah Rasulullah
1. Malam itu cuacanya sejuk, tidak panas dan tidak pula dingin.
Ini disebutkan dalam hadits Jabir, Ubadah bin Ash-Shamit dan Ibnu Abbas dengan derajat hasan lighairih.
2. Turunnya hujan.
Ini disebutkan dalam hadits Abu Said Al-Khudri riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim.
3. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak mempunyai cahaya yang menyilaukan (lingkaran matahari bisa terlihat dengan mata telanjang, pent.)
Ini disebutkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Muslim.
Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/498-499)
Wallahul Muwaffiq.
:rAda beberapa tanda yang tersebut dalam sunnah Rasulullah
1. Malam itu cuacanya sejuk, tidak panas dan tidak pula dingin.
Ini disebutkan dalam hadits Jabir, Ubadah bin Ash-Shamit dan Ibnu Abbas dengan derajat hasan lighairih.
2. Turunnya hujan.
Ini disebutkan dalam hadits Abu Said Al-Khudri riwayat Al-Bukhari dan Muslim dan hadits Abdullah bin Unais riwayat Muslim.
3. Pagi harinya matahari terbit dalam keadaan tidak mempunyai cahaya yang menyilaukan (lingkaran matahari bisa terlihat dengan mata telanjang, pent.)
Ini disebutkan dalam hadits Ubay bin Ka’ab riwayat Muslim.
Lihat Asy-Syarhul Mumti’ (6/498-499)
Wallahul Muwaffiq.
Keutamaan
Lailatul Qadr
Sumber: http://al-atsariyyah.com
Lailatul qadr adalah malam yang
terbaik dalam setahun dan penuh dengan taufik. Orang yang berbahagia adalah
orang yang dimudahkan oleh Allah dan bersungguh-sungguh dalam beramal saleh di
malam itu. Hal itu dikarenakan semua amalan di malam itu pahala dan nilainya
tidak sama seperti amalan yang dikerjakan di malam-malam lainnya.
Lailatul qadr adalah malam
Al-Qur`an diturunkan dan Allah Ta’ala telah menyifatinya sebagai malam yang diberkahi,
dan itu menunjukkan keutamaan dan keagungannya. Allah Ta’ala berfirman:
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada lailatul qadr.” (QS. Al-Qadr: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إنا أنزلناه في ليلةٍ مباركة
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan: 1)
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami menurunkannya (Al-Qur`an) pada lailatul qadr.” (QS. Al-Qadr: 1)
Allah Ta’ala juga berfirman:
إنا أنزلناه في ليلةٍ مباركة
“Sesungguhnya kami menurunkannya pada malam yang diberkahi.” (QS. Ad-Dukhan: 1)
Lailatul qadr terdapat di dalam
bulan ramadhan, karena Al-Qur`an diturunkan di dalam bulan ramadhan.
Sebagaimana pada firman Allah Ta’ala:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن
“Bulan ramadhan adalah bulan yang Al-Qur`an diturunkan padanya.” (QS. Al-Baqarah: 185)
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن
“Bulan ramadhan adalah bulan yang Al-Qur`an diturunkan padanya.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Di antara keutamaan lailatul qadr
adalah bahwa setiap amalan di dalamnya, pahala dan ganjarannya lebih baik
daripada 1000 bulan yang tidak terdapat lailatul qadr. Allah Azza wa Jalla
berfirman:
ليلة القدر خير من ألف شهر
“Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)
1000 bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan, dan Allah menyatakan bahwa amalan dalam lailatul qadr tidak setara dengannya akan tetapi lebih baik dan lebih banyak daripada itu. Allah juga tidak menyebutkan berapa kali lipat baiknya, bisa jadi lebih baik satu kali lipat, bisa jadi dua kali lipat, bisa jadi tiga kali lipat, dan seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Subhanallah. Di antara keutamaan lailatul qadr, sangat banyak para malaikat yang turun di malam itu, karena banyaknya berkah di malam itu. Dan yang dimaksud dengan malaikat di sini adalah malaikat rahmat, sehingga mereka turun dengan membawa rahmat, kebaikan, dan keselamatan bagi siapa saja yang beramal saleh di malam itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang lailatul qodar:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى
“Sesungguhnya dia itu adalah malam ketujuh atau dua puluh sembilan. Sesungguhnya pada malam itu jumlah malaikat di bumi lebih banyak daripada jumlah pasir.” (HR. Ahmad no. 10316)
ليلة القدر خير من ألف شهر
“Lailatul qadr lebih baik daripada 1000 bulan.” (QS. Al-Qadr: 3)
1000 bulan setara dengan 83 tahun 4 bulan, dan Allah menyatakan bahwa amalan dalam lailatul qadr tidak setara dengannya akan tetapi lebih baik dan lebih banyak daripada itu. Allah juga tidak menyebutkan berapa kali lipat baiknya, bisa jadi lebih baik satu kali lipat, bisa jadi dua kali lipat, bisa jadi tiga kali lipat, dan seterusnya sesuai dengan kehendak Allah Ta’ala. Subhanallah. Di antara keutamaan lailatul qadr, sangat banyak para malaikat yang turun di malam itu, karena banyaknya berkah di malam itu. Dan yang dimaksud dengan malaikat di sini adalah malaikat rahmat, sehingga mereka turun dengan membawa rahmat, kebaikan, dan keselamatan bagi siapa saja yang beramal saleh di malam itu. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang lailatul qodar:
إِنَّهَا لَيْلَةُ سَابِعَةٍ أَوْ تَاسِعَةٍ وَعِشْرِينَ إِنَّ الْمَلَائِكَةَ تِلْكَ اللَّيْلَةَ فِي الْأَرْضِ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْحَصَى
“Sesungguhnya dia itu adalah malam ketujuh atau dua puluh sembilan. Sesungguhnya pada malam itu jumlah malaikat di bumi lebih banyak daripada jumlah pasir.” (HR. Ahmad no. 10316)
Di antara keutamaan lailatul qadr
adalah bahwa pada malam itu sama sekali tidak ada kejelekan sampai terbitnya
fajar. Allah Ta’ala berfirman:
سلام هي حتى مطلع الفجر
“Dia adalah keselamatan sampai terbitnya fajar.” (QS. Al-Qadr: 5)
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa sebab tidak adanya kejelekan di malam itu adalah karena setan-setan tidak ada yang keluar di malam itu. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
“Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa bangun di malam-malam itu dengan dorongan mencari pahalanya, Allah Tabaaroka wa Ta’ala mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang berikutnya, ia terjadi pada malam ganjil; kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau malam terakhir. Tanda-tanda lailatul qadar adalah malamnya yang terang seperti ada rembulan terbit, tenang, sunyi, tidak dingin, tidak panas, dan tidak dihalalkan bagi bintang-binatang untuk dilemparkan di malam itu hingga pagi. Dan di antara tanda-tandanya adalah di pagi harinya matahari terbit merata, pancaran cahayanya tidak menyilaukan, cahanya seperti bulan, dan tidak halal bagi setan untuk keluar di saat itu.” (HR. Ahmad no. 21702)
سلام هي حتى مطلع الفجر
“Dia adalah keselamatan sampai terbitnya fajar.” (QS. Al-Qadr: 5)
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjelaskan bahwa sebab tidak adanya kejelekan di malam itu adalah karena setan-setan tidak ada yang keluar di malam itu. Dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
لَيْلَةُ الْقَدْرِ فِي الْعَشْرِ الْبَوَاقِي مَنْ قَامَهُنَّ ابْتِغَاءَ حِسْبَتِهِنَّ فَإِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى يَغْفِرُ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَا تَأَخَّرَ وَهِيَ لَيْلَةُ وِتْرٍ تِسْعٍ أَوْ سَبْعٍ أَوْ خَامِسَةٍ أَوْ ثَالِثَةٍ أَوْ آخِرِ لَيْلَةٍ. إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيهَا قَمَرًا سَاطِعًا سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ لَا بَرْدَ فِيهَا وَلَا حَرَّ وَلَا يَحِلُّ لِكَوْكَبٍ أَنْ يُرْمَى بِهِ فِيهَا حَتَّى تُصْبِحَ وَإِنَّ أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيحَتَهَا تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ وَلَا يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
“Lailatul qadar terjadi pada sepuluh malam terakhir, barangsiapa bangun di malam-malam itu dengan dorongan mencari pahalanya, Allah Tabaaroka wa Ta’ala mengampuni dosanya yang terdahulu dan yang berikutnya, ia terjadi pada malam ganjil; kesembilan, ketujuh, kelima, ketiga atau malam terakhir. Tanda-tanda lailatul qadar adalah malamnya yang terang seperti ada rembulan terbit, tenang, sunyi, tidak dingin, tidak panas, dan tidak dihalalkan bagi bintang-binatang untuk dilemparkan di malam itu hingga pagi. Dan di antara tanda-tandanya adalah di pagi harinya matahari terbit merata, pancaran cahayanya tidak menyilaukan, cahanya seperti bulan, dan tidak halal bagi setan untuk keluar di saat itu.” (HR. Ahmad no. 21702)
Di antara keutamaan lailatul qadr,
di dalamnya ditetapkan takdir untuk tahun itu sampai tahun depannya, yang
diistilahkan dengan nama at-taqdir as-sanawi (takdir tahunan). Allah Ta’ala
berfirman:
فيها يفرق كل أمر حكيم
“Pada malam itu dipecah setiap urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan: 4)
Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa pada malam itu ditakdirkan siapa yang meninggal pada tahun itu, siapa yang naik haji pada tahun itu, dan seterusnya dari masalah umur dan rezki. Karenanya disyariatkan untuk memperbanyak doa kebaikan pada malam itu, karena tidak ada yang bisa memperbaiki takdir kecuali doa. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui malam apakah lailatul qadr, maka apakah yang aku ucapkan padanya?” Beliau menjawab:
قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Berdoalah dengan: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku).” (HR. At-Tirmizi no. 3435 dan dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”)
فيها يفرق كل أمر حكيم
“Pada malam itu dipecah setiap urusan yang penuh hikmah.” (QS. Ad-Dukhan: 4)
Sebagian ulama salaf menyatakan bahwa pada malam itu ditakdirkan siapa yang meninggal pada tahun itu, siapa yang naik haji pada tahun itu, dan seterusnya dari masalah umur dan rezki. Karenanya disyariatkan untuk memperbanyak doa kebaikan pada malam itu, karena tidak ada yang bisa memperbaiki takdir kecuali doa. Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata: Wahai Rasulullah, apabila aku mengetahui malam apakah lailatul qadr, maka apakah yang aku ucapkan padanya?” Beliau menjawab:
قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
“Berdoalah dengan: ALLAAHUMMA INNAKA ‘AFUWWUN KARIIMUN TUHIBBUL ‘AFWA FA’FU ‘ANNII (Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi ampunan dan Maha Pemurah, Engkau senang memberikan ampunan, maka ampunilah aku).” (HR. At-Tirmizi no. 3435 dan dia berkata, “Ini adalah hadits hasan shahih.”)
Di antara keutamaan lailatul qadr
adalah siapa saja yang shalat lail (tarawih) di malam itu atas dorongan
keimanan dan mengharap pahala, maka semua dosanya yang telah lalu akan Allah
ampuni. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam beliau bersabda:
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Dan barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya”. (HR. Al-Bukhari no. 1768 dan Muslim no. 1268)
مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang shalat pada lailatul qadar karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dari-Nya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya. Dan barangsiapa yang berpuasa ramadhan karena iman kepada Allah dan mengharapkan pahala (hanya dariNya) maka akan diampuni dosa-dosa yang telah dikerjakannya”. (HR. Al-Bukhari no. 1768 dan Muslim no. 1268)
Adapun kapan lailatul qadr, maka
dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 1878)
Hal ini juga didukung oleh hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu di atas.
Dari 10 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam ganjil pada 7 malam terakhir. Dari Ibnu’Umar radhiallahu ‘anhuma dia berkata bahwa ada beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyaksilan lailatul qadar terjadi di dalam mimpi mereka pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku lihat mimpi-mimpi kalian tentang lailatul qadar semuanya sama menunjukkan pada tujuh malam terakhir. Karenanya siapa saja yang mau mencarinya, maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir”. (HR. Al-Bukhari no. 1876 dan Muslim no. 1985)
Kemudian dari 7 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam 2 malam ganjil terakhir. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas.
Kemudian dari kedua malam ini, yang paling berpotensi adalah malam 27 ramadhan. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu dia berkata tentang malam lailatul qadr:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
“Demi Allah, saya benar-benar mengetahuinya. Di adalah suatu malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menunaikan shalat padanya. Tepatnya malam itu adalah malam ke-27.” (HR. Muslim no. 2000)
Ala kulli hal, setiap malam ganjil mempunyai potensi untuk terjadinya lailatul qadr, walaupun sebagiannya adalah yang lebih besar potensinya dibandingkan yang lain. Wal ‘ilmu ‘indallah.
تَحَرَّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
“Carilah lailatul qadar pada malam yang ganjil dalam sepuluh malam yang akhir dari ramadhan.” (HR. Al-Bukhari no. 1878)
Hal ini juga didukung oleh hadits Ubadah bin Ash-Shamit radhiallahu anhu di atas.
Dari 10 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam ganjil pada 7 malam terakhir. Dari Ibnu’Umar radhiallahu ‘anhuma dia berkata bahwa ada beberapa orang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang menyaksilan lailatul qadar terjadi di dalam mimpi mereka pada tujuh hari terakhir. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata:
أَرَى رُؤْيَاكُمْ قَدْ تَوَاطَأَتْ فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ فَمَنْ كَانَ مُتَحَرِّيهَا فَلْيَتَحَرَّهَا فِي السَّبْعِ الْأَوَاخِرِ
“Aku lihat mimpi-mimpi kalian tentang lailatul qadar semuanya sama menunjukkan pada tujuh malam terakhir. Karenanya siapa saja yang mau mencarinya, maka hendaklah dia mencarinya pada tujuh malam terakhir”. (HR. Al-Bukhari no. 1876 dan Muslim no. 1985)
Kemudian dari 7 hari terakhir ini, yang paling berpotensi menjadi lailatul qadr adalah malam 2 malam ganjil terakhir. Hal ini sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah riwayat Ahmad di atas.
Kemudian dari kedua malam ini, yang paling berpotensi adalah malam 27 ramadhan. Dari Ubay bin Ka’ab radhiallahu ‘anhu dia berkata tentang malam lailatul qadr:
وَاللَّهِ إِنِّي لَأَعْلَمُهَا هِيَ اللَّيْلَةُ الَّتِي أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقِيَامِهَا هِيَ لَيْلَةُ سَبْعٍ وَعِشْرِينَ
“Demi Allah, saya benar-benar mengetahuinya. Di adalah suatu malam yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk menunaikan shalat padanya. Tepatnya malam itu adalah malam ke-27.” (HR. Muslim no. 2000)
Ala kulli hal, setiap malam ganjil mempunyai potensi untuk terjadinya lailatul qadr, walaupun sebagiannya adalah yang lebih besar potensinya dibandingkan yang lain. Wal ‘ilmu ‘indallah.
Menyambut Malam Lailatul Qadar
Sumber: http://www.suarakarya-online.com
Sumber: http://www.suarakarya-online.com
Lailatul qadar merupakan malam istimewa
yang telah dijanjikan Allah memiliki kemuliaan. Al-Quran menyebut, yang ibadah
pada malam tersebut sama nilainya dengan nilai ibadah selama seribu bulan,
kalau saja kita ukur selang waktu seribu bulan tersebut dengan usia kita, maka
seandainya kita mendapatkan lailatul qadar, berarti kita mendapatkan sebuah
pengalaman spiritual yang lebih berharga dibandingkan dengan hidup kita selama
kurang lebih delapan puluh tahun.
Al-Quran menggambarkan kemuliaan lailatul qadar
tersebut dalam satu surat penuh, yakni surat Al Qadar, "Sesungguhnya kami
menurunkannya (Al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu malam kemuliaan
itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan. Pada malam itu turun
malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhan-nya untuk mengatur
segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar" (QS Al
Qadar: 1-5)
Melihat keistimewaan lailatul qadar yang begitu rupa,
maka bukanlah suatu hal yang aneh apabila kaum muslimin menanti-nanti, serta
menyambut kehadirannya dengan penuh suka cita, kebahagiaan dan doa. Untuk
memperoleh keistimewaan malam lailatul qadar tersebut, kaum muslimin dianjurkan
melakukan persiapan rohani terlebih dahulu. Upaya mempersiapkan rohani tersebut
dimaksud sebagai syarat untuk meraih lailatul qadar. Di antara persiapan yang
seyogianya dilakukan kaum muslimin untuk meraih keistimewaan lailatul qadar
tersebut adalah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Kegiatan yang lainnya, ketika menjelang malam lailatul
qadar adalah melaksanakan qiyamul lail, memperbanyak zikir, tadarus Al-Quran
dan doa serta melakukan perenungan dan i'tikaf. Rasulullah SAW menganjurkan
kita melaksanakan persiapan meraih lailatul qadar tersebut melalui sabdanya:
"Barangsiapa berpuasa karena keimanan kepada Allah, dan melakukan
perhitungan kepada diri sendiri (muhasabah), maka diampuni dosa-dosanya yang
telah lalu".
Muhasabah/ihtisab adalah sikap mau mengoreksi serta
menghitung amal perbuatan diri sendiri. Perenungan tersebut menjadi sarana
untuk mempermudah pencapaian lailatul qadar. Seandainya kita tidak mau
melakukan perenungan dan muhasabah, maka kita akan sulit meraih lailatul qadar,
karena dalam hati orang yang tidak mau melakukan koreksi terhadap dirinya
sendiri cenderung bersarang kesombongan yang menggugurkan kesempatan meraih
lailatul qadar.
Untuk menyambut lailatul qadar tahun ini, kita
dituntut memperbanyak kegiatan ibadah, zikir, tadarus Al-Quran, muhasabah serta
i'tikaf tanpa harus meminta bantuan orang lain. Kita melaksanakan rangkaian
kegiatan tersebut dengan penuh kesadaran dan keikhlasan, sehingga Allah SWT
berkenan memberikan kesempatan kepada kita untuk mendapatkan lailatul qadar
yang mengantarkan kita kepada hidup dan kehidupan yang penuh kebahagiaan di
bawah naungan rahmat dan ampunan-Nya.
Ada banyak hikmah yang dapat diambil dari pelaksanaan
i'tikaf ini, terutama di bulan Ramadhan yang penuh barokah, di mana pada bulan
ini amal ibadah manusia dilipatgandakan pahalanya. Oleh karena itulah
Rasulullah tidak pernah meninggalkan amaliah ini hingga akhir hayatnya,
sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan At Tirmidzi bahwa,
"Sesungguhnya Nabi SAW ber-i'tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan
Ramadhan sampai akhir hayat beliau" (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi).
Di antara sekian banyak hikmah yang terkandung dalam
i'tikaf adalah: pertama, mendorong seseorang mengarahkan hatinya agar
senantiasa mengingat Allah. Dengan berzikir kepada Allah, maka hati manusia
akan merasa tenteram, sebagaimana difirmankan Allah dalam surat Ar Ra'du ayat
28 yang artinya: "Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah (dzikrullah)lah
hati menjadi tenteram" (QS Ar Ra'du:28)
Kedua, mengasah dan membersihkan rohani ketika
berhadapan dengan Allah, dengan cara berpuasa, berzikir serta mengheningkan
pikiran untuk mengingat Allah dan hari akhirat, guna memohon ampunan dan
rahmat-Nya. Konkretnya i'tikaf merupakan sarana bagi umat Islam untuk melakukan
muhasabah, baik muhasabah dalam memikirkan keagungan dan besarnya nikmat Allah
yang melahirkan hasrat untuk bersyukur atau pun muhasabah dalam memikirkan
betapa banyaknya dosa dan khilafnya sehingga melahirkan dorongan untuk
bertaubat. Sebuah ucapan Umar bin Khattab r.a yang cukup bermakna menyatakan,
"Hisablah diri kamu semua, sebelum kamu semua dihisab (di hadapan
Allah)".
Ketiga, i'tikaf juga dapat menanamkan dan memupuk
perasaan cinta dan senantiasa mengingat masjid (qalbuhu mu'allaqun bil
masajid). Dengan cara ini, orang Islam akan termasuk ke dalam golongan
orang-orang yang mendapat naungan Allah di Padang Mahsyar kelak. Nabi bersabda:
"Ada tujuh golongan yang akan dinaungi Allah pada hari yang tidak ada
naungan selain naungan-Nya; imam yang adil, pemuda yang tumbuh dengan ibadah
kepada Allah, seorang yang hatinya tergantung (rindu) kepada masjid sejak ia
keluar darinya hingga kembali lagi," (HR Al Bukhari, Muslim, At Tirmidzi,
An Nasa'i, Malik dan Ahmad).
Di dalamnya orang yang ber-i'tikaf dianjurkan untuk
memperbanyak membaca Al-Quran serta mempelajari sunnah Nabi. Rasulullah
bersabda yang artinya: "Masjid itu adalah rumah bagi orang-orang yang
bertakwa, dan Allah memelihara orang yang menjadikan masjid sebagai rumahnya
untuk mencari ketenangan dan rahmat, serta datang atas landasan menuju
keridhaan-Nya masuk surga" (HR At Thabrani).
Keempat, i'tikaf dapat mempererat hubungan antarumat
Islam karena mereka mempunyai kesempatan saling berkenalan satu dengan yang
lainnya, saling menasihati, bersilaturahmi, berdialog tentang keagamaan dan
lain-lainnya, sehingga bertambah cinta dan ketakwaan kepada Allah SWT, karena
memang masjid didirikan di atas landasan ketakwaan. Firman Allah dalam surat At
Taubah ayat 108: "Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa,
sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sembahyang di dalamnya. Di dalamnya
ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang
yang bersih" (QS At Taubah: 108).
Kelima, mengagungkan dan menghidupkan syiar-syiar
Islam lewat kemasjidan sebagai realisasi keimanan kepada Allah. Firman Allah
dalam surat At Taubah ayat 18 menegaskan bahwa, "Hanya yang memakmurkan
masjid-masjid Allah adalah orang-orang yang yang beriman kepada Allah dan hari
kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapa pun) kecuali kepada Allah." (QS At Taubah:18). ***
Amalan di 10 Hari Terakhir Ramadhan
Sumber: http://al-atsariyyah.com
Amalan
di 10 Hari Terakhir Ramadhan
Dari ‘Aisyah radhiallahu anha dia
berkata:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya “. (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 2008)
Dalam lafazh yang lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no. 2009)
Ada dua penafsiran di kalangan ulama mengenai makna ‘mengencangkan sarung’:
a. Ini adalah kiasan dari memperbanyak ibadah, fokus untuk menjalankannya, dan bersungguh-sungguh di dalamnya.
b. Ini adalah kiasan dari menjauhi berhubungan dengan wanita. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan yang dirajihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahumallah.
Makna ‘menghidupkan malam’ adalah mengisinya dengan ibadah dibandingkan tidur yang merupakan saudara dari kematian.
Makna ‘membangunkan keluarga’ adalah mendorong dan memerintah keluarga untuk mengisi malam-malam itu dengan ibadah.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bila memasuki sepuluh akhir (dari bulan Ramadhan), beliau mengencangkan sarung, menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya “. (HR. Al-Bukhari no. 1884 dan Muslim no. 2008)
Dalam lafazh yang lain:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مَا لَا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ
“Pada sepuluh terakhir bulan Ramadlan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lebih giat beribadah melebihi hari-hari selainnya.” (HR. Muslim no. 2009)
Ada dua penafsiran di kalangan ulama mengenai makna ‘mengencangkan sarung’:
a. Ini adalah kiasan dari memperbanyak ibadah, fokus untuk menjalankannya, dan bersungguh-sungguh di dalamnya.
b. Ini adalah kiasan dari menjauhi berhubungan dengan wanita. Ini adalah pendapat Sufyan Ats-Tsauri dan yang dirajihkan oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahumallah.
Makna ‘menghidupkan malam’ adalah mengisinya dengan ibadah dibandingkan tidur yang merupakan saudara dari kematian.
Makna ‘membangunkan keluarga’ adalah mendorong dan memerintah keluarga untuk mengisi malam-malam itu dengan ibadah.
Pada dasarnya, membangunkan
keluarga untuk shalat malam adalah hal yang disunnahkan. Dari Abu Hurairah
radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Allah merahmati seseorang yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. Dan Allah merahmati seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1113, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1326)
Akan tetapi hal ini lebih disunnahkan lagi di 10 terakhir ramadhan. Karena shalat lail mengandung banyak keutamaan sehingga tidak pantas bagi seorang muslim atau keluarganya untuk luput darinya. 10 hari terakhir juga adalah penutup bulan ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Dan sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6117)
رَحِمَ اللَّهُ رَجُلًا قَامَ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّى وَأَيْقَظَ امْرَأَتَهُ فَإِنْ أَبَتْ نَضَحَ فِي وَجْهِهَا الْمَاءَ رَحِمَ اللَّهُ امْرَأَةً قَامَتْ مِنْ اللَّيْلِ فَصَلَّتْ وَأَيْقَظَتْ زَوْجَهَا فَإِنْ أَبَى نَضَحَتْ فِي وَجْهِهِ الْمَاءَ
“Allah merahmati seseorang yang bangun malam kemudian shalat lalu membangunkan isterinya, apabila isterinya menolak, dia akan memercikkan air ke mukanya. Dan Allah merahmati seorang isteri yang bangun malam lalu shalat, kemudian dia membangunkan suaminya, apabila suaminya enggan, maka isterinya akan memercikkan air ke muka suaminya.” (HR. Abu Daud no. 1113, An-Nasai no. 1592, dan Ibnu Majah no. 1326)
Akan tetapi hal ini lebih disunnahkan lagi di 10 terakhir ramadhan. Karena shalat lail mengandung banyak keutamaan sehingga tidak pantas bagi seorang muslim atau keluarganya untuk luput darinya. 10 hari terakhir juga adalah penutup bulan ramadhan, sementara setiap amalan itu tergantung dengan penutupnya. Sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
وَإِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالْخَوَاتِيمِ
“Dan sungguh amalan itu ditentukan dengan penutupannya.” (HR. Al-Bukhari no. 6117)
Kemudian, ibadah yang dianjurkan
untuk dilakukan pada 10 hari ini tidak terbatas pada shalat lail saja, akan
tetapi mencakup semua jenis ibadah seperti membaca Al-Qur`an, berdzikir,
berdoa, bersedekah, dan selainnya.
Di antara keistimewaan 10 hari ini
adalah di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari 1000 bulan atau
yang dikenal dengan malam al-qadr. Pada malam ini Al-Qur`an diturunkan, pada
malam ini ditetapkan takdir untuk setahun berikutnya, dan pada malam ini
terdapat banyak pengampunan. Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan
Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala
urusan yang penuh hikmah, (yaitu) urusan yang besar dari sisi kami.
Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul.” (QS. Ad-Dukhan: 3-5)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan siapa yang menegakkan (shalat pada malam) pada lailatul Qadr dengan keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 1268)
Karena semua keutamaan inilah, sebagian ulama berpendapat bahwa 10 terakhir ramadhan itu lebih utama dibandingkan 10 hari pertama dzulhijjah. Wallahu a’lam.
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang berpuasa pada bulan Ramadlan dengan penuh keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni. Dan siapa yang menegakkan (shalat pada malam) pada lailatul Qadr dengan keimanan dan mengharap (pahala dari Allah), maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Al-Bukhari no. 34 dan Muslim no. 1268)
Karena semua keutamaan inilah, sebagian ulama berpendapat bahwa 10 terakhir ramadhan itu lebih utama dibandingkan 10 hari pertama dzulhijjah. Wallahu a’lam.
Dihimpun oleh Kiyai
Sayyidah & Ustadzah Siti Hawariyun
Allohu Akbar,...tulisannya bagus tapi judulnya ko GA sebagus isi nya....
BalasHapusAllohu Akbar,...tulisannya bagus tapi judulnya ko GA sebagus isi nya....
BalasHapus